Selamat Datang

Untuk kalangan atau simpatisan kristiani.

Selamat datang di blog kami, semoga apa yang kami tuliskan dapat bermanfaat bagi Anda semua.

Tuhan Yesus memberkati.


Terjemahkan Bahasa / Translate :

Terjemahkan Bahasa

Jumat, 30 September 2011

Kesaksian - Bom Bunuh Diri Di GBIS Kepunton Solo-Jawa Tengah


“Tidak ada satupun korban jiwa, itu adalah karena campur tangan Tuhan semata-mata”
Bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo-Jawa Tengah
  1. Jam 10:45
  2. Bom Meledak
  3. Mujizat
  4. Iman Di Atas Batu Karang
  5. We Love, We Forgive


1. Jam 10:45
Minggu 25 September 2011 jam 10:45. Ibadah baru saja usai. Doa berkat telah selesai disampaikan. Jemaat sedang berjalan keluar dari dalam gedung Gereja. Pemuji dan pemusik sedang menaikkan puji-pujian.

Baru saja, Pdt. Sigit Purbandoro dari Surabaya menyampaikan Firman Tuhan mengenai “Pertolongan Tuhan” yang terambil dari Mazmur 121:1-8. Semuanya kelihatannya berjalan dengan lancar sepereti biasanya.

Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Puji-pujian langsung berhenti. Saya berpikir speaker sound system yang meledak. Saya langsung berlari ke tengah mimbar dan dari atas mimbar terlihat ada asap putih mengepul dari pintu depan. Asap cukup tebal sehingga pandangan ke luar pintu tidak terlihat. Saya langsung berpikir “Wah bom!” Langsung saya berlari seperti melompat dari mimbar ke tempat kejadian.

Pikiran saya cuma satu, “Tuhan jangan sampai ada korban jiwa dari jemaat” dan kalau ada korban luka, itu yang harus secepatnya ditolong. Tidak kepikiran kalau ada bom susulan atau hal lain. Hanya satu perkara yang ada di pikiran “Selamatkan secepatnya yang terluka!”


Pada waktu itu, jemaat berteriak-teriak panik dan berlarian. Apalagi asap putih cukup tebal menghalangi pandangan. Bau mesiu menyengat dan darah berceceran di lantai.

Sampai di dekat kejadian, saya melihat hanya ada seorang yang tergeletak dengan perut hancur. Saya langsung berpikir, “Itu pasti pelakunya”. Secara sekilas saya tidak menemukan korban lain yang tergeletak, spontan saya langsung berkata dalam hati, “Syukur Tuhan, tidak ada korban jiwa jemaat”.

Lalu saya lihat beberapa jemaat yang terluka. Saya pegang tangan salah satunya dan saya katakan “Kamu pasti tertolong. Jangan takut! Tuhan melindungimu.” Tapi saya tidak boleh hanya berkutat di situ. Sekarang, ada beban di pundak saya sebagai gembala untuk mengendalikan situasi yang kacau dan menenangkan jemaat yang panik. Langsung saya berteriak “Semuanya keluar lewat pintu samping”. Sekarang, prioritas utama adalah melarikan korban yang terluka secepat-cepatnya ke rumah sakit. Tidak usah memanggil ambulan, karena pasti butuh waktu cukup lama. Sedangkan korban, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.

Terdengar teriakan dari Pdm. Joko Sembodo yang mengatur keamanan di tempat kejadian perkara. Dia berteriak kepada petugas parkir di luar “Tutup pintu gerbang cepat!” agar jangan sampai ada orang luar masuk.

“Bawa semua korban lewat kantor. Pakai mobil Gereja untuk membawa korban ke rumah sakit” teriak saya. Langsung beberapa jemaat dengan sigap tanpa rasa takut menggendong para korban ke kantor. Mereka ini betul-betul orang-orang yang siap melayani seperti Kristus. Tidak mempedulikan resiko bom ke dua ataupun kengerian yang muncul, mereka sigap untuk memberikan pertolongan kepada korban-korban yang berjatuhan.

Sayapun segera berlari ke kantor. Di kantor, saya menyuruh Bapak Yohanes dan Bapak Yulianto untuk mengatur parkir agar kendaraan di parkir yang tidak berkepentingan bisa langsung cepat keluar. Begitu kosong, ada dua kendaraan yang siap dipakai, milik Bapak Budi dan Bapak Gideon. Langsung para korban diangkat dinaikkan ke mobil Bapak Budi. Namun ada kesulitan untuk menaikkan korban ke mobil Bapak Gideon, karena pintunya terhalang mobil lain. Tidak menunggu waktu, saya langsung naik ke belakang setir dan memajukan mobil Bapak Gideon, sehingga pintu bisa terbuka lebar.

Begitu korban dimasukkan, mobil segera melaju dengan cepat ke Rumah Sakit Dr. Oen. Ada yang sempat bertanya, “Nanti kalau di tanya siapa yang menanggung dan bertanggungjawab, bagaimana jawabnya?” Saya langsung berteriak “Gereja yang akan bertanggungjawab untuk semua biayanya. Yang penting, korban harus segera ditolong!” (Biaya pengobatan dan rumah sakit ditanggung oleh pemerintah dan oleh pihak Rumah Sakit Dr. Oen). Dalam waktu kira-kira lima belas menit sejak ledakan, semua korban sudah bisa sampai ke Rumah Sakit Dr. Oen.

Setelah sebentar membagi tugas di kantor, saya dan Pdm. Wim Agus Winarno langsung menyusul ke Rumah Sakit Dr. Oen. Urusan peledakan dan korban tewas biarlah urusan polisi dan orang lain yang sudah saya serahi tugas untuk itu. Sedangkan tugas saya adalah gembala. Saya harus berada di dekat domba-domba yang terluka secepatnya.

Di luar, masa yang begitu banyak sudah memadati jalan di sekitar Gereja, sehingga kendaraan saya sukar untuk bergerak. Sesampainya di rumah sakit, ruang UGD sudah penuh dengan korban-korban yang terluka dan keluarganya. Suasana hiruk pikuk. Langsung saya usahakan untuk mendekati mereka satu per satu. Saya berikan kata-kata kekuatan dan yang paling penting saya doakan mereka satu per satu. Itulah tugas saya sebagai gembala.

Korban pertama yang saya jumpai adalah Bapak Sugiyono dan anaknya Defiana. Secara sepintas mereka kelihatannya tidak terluka parah, karena mereka masih bisa tersenyum. Namun kemudian saya baru tahu bahwa luka Defiana cukup parah, di mana ada 3 mur yang bersarang di tempurung kepalanya. Saya doakan mereka dan saya kuatkan.

Lalu saya jumpai Bapak Go Sing Gwan yang terluka dibahunya. Sebuah metal besi telah menghantam tulang bahunya sehingga hancur. Bapak Go Sing Gwan harus menjalani operasi untuk mengganti tulang bahunya yang hancur dengan sebuah plat.

Dikamar sebelah saya menjumpai Olivia Putri yang terluka di kakinya. Urat kakinya putus dan dia menangis. Pasti rasanya sangat menyakitkan sekali dan hati saya turut tersayat melihat gadis remaja ini menangis kesakitan. Saya pegang tangannya dan saya doakan.

Berlari keluar saya masuk ke kamar di samping dan di situ saya melihat Noviyanti tergeletak di atas ranjang dengan kepala yang bercucuran darah begitu banyak. Terlihat sepintas lukanya cukup parah dan dia hanya diam saja tanpa respon. Hati saya kuatir melihatnya. Tapi saya meneguhkan iman dan berdoa. Saya bisikkan kata-kata kekuatan dan saya doakan dia. Luar biasanya, nanti terlihat bahwa pemulihannya begitu cepat dan dia termasuk yang cepat pulang dari Rumah Sakit.

Septiana saya jumpai sedang terbaring kesakitan. Benda tajam telah menembus salah satu kakinya sampai berlubang dan mencucurkan darah. Tidak berhenti sampai di situ, benda tajam itu masih melaju dan bersarang di kaki yang satunya lagi. Ke dua kakinya terluka parah.

Selanjutnya saya berlari ke kamar sebelah dan saya melihat Ibu Feriana yang terluka parah, ada pecahan metal yang menembus dan merobek kandung kemihnya. Pendarahan terjadi dan harus segera dihentikan sebelum menjadi fatal. Segera dia diprioritaskan untuk menerima tindakan operasi lebih dahulu untuk menghentikan pendarahan. Dalam operasi itu, dokter juga harus memotong usus halusnya sebanyak dua cm. ketika didoakan sebelum masuk ke kamar operasi, dia masih bisa tersenyum sekalipun terluka parah.

Selesai mendoakan Ibu Feriana, saya keluar kamar dan di lorong saya menjumpai Ferdianta dan Boris yang terbaring di ranjang. Luka mereka berada di tangan, perut dan kaki, karena ada paku dan benda-benda lain yang menancap. Saya doakan dan saya teguhkan iman mereka. Mereka mengangguk lemah tanda percaya dan saya senang karena mereka tetap kuat.

Saat itu, saya melihat ada korban yang sedang didorong tergesa-gesa oleh petugas medis ke kamar operasi. Ternyata dia adalah Bapak Ristiyono yang punggungnya hancur karena ada dua belas paku yang menancap di punggungnya. Saya tidak sempat mendoakannya secara khusus, tapi saya berdoa dalam hati agar kemanapun dia dibawa, Tuhan menyertainya.

Dengan setengah berlari, saya masuki kamar selanjutnya. Di situ terbaring Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun. Dia merasakan sakit di kepalanya yang berdarah-darah dan berkata dengan suara memelas “Pak, kepalaku sakit sekali. Tolong Pak Yo, ndak kuat rasanya. Kepala ini sakit sekali!” Saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaannya, kecuali hanya dengan doa. Telinga Ibu Yulianti telah robek terhantam serpihan benda tajam dan mengucurkan banyak darah. Saya pegang tangannya dan dia menggenggam tangan saya erat-erat. Saya katakan, “Tante jangan kuatir. Tante pasti bisa sembuh total. Tetap kuat dan panggil nama Tuhan Yesus ya Tante.” Dia mengangguk dan saya doakan dia sambil kita ber dua berpegangan tangan.

Keluar dari kamar itu, saya melihat korban lain, yaitu Bapak Stefanus yang terbaring di ranjangnya tepat di tengah ruang UGD. Dia berusaha bangun. Saya tenangkan dia dan saya suruh tidur kembali. Saya lihat lengannya atas berdarah-darah. Saya pegang tangannya dan saya doakan dia di tengah-tengah ruangan UGD itu.

Sekalipun jatuh korban tiga puluh orang terluka, saya masih bisa bersyukur bahwa tidak ada satupun yang meninggal dunia. Dari tiga puluh orang itu, empat belas harus dirawat inap dan semuanya harus menjalani operasi. Operasi berlangsung marathon dari hari Minggu jam 14.00 sampai besoknya jam 12.00, selama dua puluh dua jam.


2. Bom Meledak
Jika direnungkan, dalam tragedi 1053 ini ada banyak mujizat dan pertolongan Tuhan. Jika tidak ada satupun korban jiwa, itu adalah karena campur tangan Tuhan semata-mata. Bukan kebetulan! Karena di dalam Tuhan Yesus, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi atas ijinNya.

Sebelum kejadian, berdasarkan rekaman kamera CCTV, pelaku diperkirakan masuk dari pintu kecil samping pintu utama. Dengan berbaju putih lengan panjang, celana panjang hitam, bertopi, berkacamata dan sebuah tas kecil di kalungkan di dadanya, pelaku sempat berjalan ke tengah dan mendekati tengah ruangan Gereja. Andaikata dia meledakkan bomnya di tengah ruangan Gereja, pasti ceritanya akan berbeda. Korban yang jatuh pasti akan lebih banyak.

Tapi entah mengapa (Pasti ada campur tangan Tuhan), pelaku sempat menoleh ke kanan ke kiri seperti kebingungan. Kemudian, dia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Dia melangkah keluar pintu Gereja dan berdiri di depan pintu agak menyamping ke timur. Di teras Gereja itulah dia meledakkan bom yang dia bawa tepat pukul 10:53 (sesuai dengan waktu yang terekam di CCTV), menghamburkan proyektil-proyektil maut berupa paku, mur, lempengan logam tajam dan lain sebagainya.

Semata-mata pertolongan Tuhan kalau pelaku itu meledakkan bomnya dengan menghadap ke halaman parkir. Andaikata dia meledakkan bomnya dengan menghadap ke arah pintu Gereja, di mana jemaat sedang ramainya keluar melalui pintu itu, maka korban yang berjatuhan akan makin banyak dan bisa jadi ada yang kehilangan nyawanya.

Lebih ajaib lagi, ketika dia menyalakan bomnya, posisinya agak berubah, badannya memutar sedikit sehingga arahnya tepat menghadap ke dua pilar beton. Akibatnya, ketika bom yang menempel di perutnya meledak menghamburkan serpihan-serpihan, maka sebagian tertahan oleh dua tiang beton itu. Kalau bukan tangan Tuhan yang memutar tubuhnya sedikit, maka pasti akan jatuh korban lebih banyak lagi.

Serpihan bom itu ternyata menyebar kemana-mana dan ada sebuah pecahan pipa yang tajam dan sebesar kepalan tangan, telah terlontar menembus plafon teras Gereja. Andaikata pecahan itu tidak dilemparkan oleh Tuhan ke atas dan membabat orang, maka dipastikan orang itu tidak akan mengalami kesakitan. Tapi dia akan langsung tewas di tempat. Tapi puji syukur kepada Tuhan. Tuhan sudah melemparkan pecahan yang sangat berbahaya itu ke atas plafon Gereja, sehingga tidak menimbulkan korban.


3. Mujizat
Satu hal yang saya kuatirkan dan saya doakan kepada Tuhan, “Jangan sampai ada satupun korban yang meninggal!” Kalau tidak ada yang kehilangan nyawa (kecuali pelaku), maka itu membuktikan bahwa tindakan bom bunuh diri itu adalah tindakan yang sia-sia dan tidak mencapai sasarannya, yaitu untuk mencabut nyawa korban sebanyak-banyaknya. Selamatnya para korban juga menunjukkan bahwa perlindungan Allah itu dahsyat dan ajaib! Perlindungan Allah tidak tertembus oleh bom yang bagaimanapun juga.

Oleh sebab itu, ketika diadakan doa di depan Gereja oleh saudara-saudara kita dari GP Ansor pada Minggu malam, sayapun ikut di situ. Pada saat itu, saya menerima tiga kabar yang membuat sesak nafas. Berita pertama yang muncul di sms adalah Defiana setelah operasi kepala untuk mengambil tiga mur, ternyata mengalami kejang-kejang dan kritis. Saat saudara-saudara kita dari GP Ansor berdoa, sayapun juga berdoa, “Tuhan Yesus jangan sampai anakMu ini meninggal. Sembuhkan dan pulihkan dia oleh karena bilurMu, bukan karena yang lain. Aku mohon mujizatMu Tuhan.”

Belum selesai saya berdoa, masuk sms ke dua dan disusul yang ke tiga yang mengatakan bahwa kaki dari salah satu korban yang bernama Hariyoko harus diamputasi karena terbabat obeng yang terlontar seperti roket. Lalu urat kaki Olivia Putri yang putus harus segera disambung sebelum dua puluh empat jam. Tapi sampai saat itu belum bisa segera dilakukan operasi karena ruang operasi penuh. Padahal waktu sudah semakin sempit.

Kembali saya berdoa agar jangan sampai ada satupun yang mengalami cacat! Apalagi mereka ini masih remaja dan masih memiliki perjalanan hidup yang panjang. Jangan sampai mereka kehilangan masa depannya karena mengalami kecacatan.

Berdoa bersama saudara-saudara kita dari GP Ansor dan mengingat korban-korban ini, tak terasa air mata ini menetes. Hanya satu doa yang saya panjatkan terus, “Jangan ada yang meninggal dan jangan ada yang cacat”, supaya nama Tuhan saja yang dipermuliakan dalam peristiwa ini.

Begitu selesai doa bersama, kira-kira jam 22.30, saya langsung bergegas ke Rumah Sakit bersama Pdm. Joko Sembodo untuk menjenguk korban.

Di depan ruang operasi, saya menjumpai Ibu Hung Me, yang suaminya, Bapak Go Sing Gwan sedang menjalani operasi karena tulang bahunya hancur. Di depan kamar operasi itu, kita berdoa bersama-sama memohon anugerahNya.

Lalu saya menuju kamar Olivia Putri yang harus dioperasi sesegera mungkin karena urat kakinya putus. Dia tertidur lelap, mungkin karena pengaruh obat bius untuk mengurangi rasa sakitnya. Saya katakan kepada ibunya, “Jangan kuatir bu. Pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat. Kaki Olivia pasti akan dioperasi tepat pada waktunya.” Akhirnya jam 01.00, Olivia bisa dioperasi kakinya dan tidak terlambat.

Di ruang ICU, ada dua korban, yaitu Ibu Feriana yang terluka parah. Kandung kemihnya yang pendarahan karena tertembus logam dan ususnya harus dipotong dua cm. Ketika saya doakan, Ibu Feriana justru berkata “Saya tetap kuat Pak Yo. Saya tetap cinta Tuhan dan Tuhan Yesus pasti sembuhkan saya.” Dia juga berpesan, “Pak Yo juga harus kuat. Tuhan akan pakai Pak Yo.” Saya terkejut dengan ketabahan Ibu Feriana. Saya betul-betul dikuatkan dan terharu. Di saat menderita dan menjadi korban, Ibu Feriana betul-betul tabah dan justru masih bisa memberikan kekuatan. Luar biasa!

Memang Tuhan punya rencana lain untuk Ibu Feriana. Ketika para dokter mengoperasi untuk menghentikan pendarahannya, dokter juga menemukan usus buntunya sudah infeksi. Karena itu, usus buntunyapun ikut diambil. Jadi Ibu Feriana ini juga mendapatkan pelayanan operasi usus buntu, tanpa biaya. Tuhan yang atur semuanya.

Defianapun juga berada di ruang ICU. Saya melihat sekarang dia telah bisa tidur tenang, sesudah sore tadi mengalami kejang-kejang. Saya bersyukur kepada Tuhan karena melihat Tuhan sudah melakukan mujizatNya.

Mamanya mengatakan bahwa Defiana ini dalam penderitaannya justru sangat tabah. Dalam keadaan tergeletak dan terluka parah, dia justru yang mengkuatkan orang tuanya untuk tetap kuat dan bersyukur kepada Tuhan, “Ma jangan takut. Aku pasti sembuh karena Tuhan Yesus pasti menolong.” Bahkan saat dia didorong masuk ke kamar operasi, dia menyanyikan pujian “Dalam nama Yesus! Dalam nama Yesus! Ada kemenangan!” Iman anak remaja ini betul-betul luar biasa. Dia sangat mencintai Tuhan. Saat sadar, yang dipikirkan pertama kali justru, bagaimana pelayanannya hari Senin, 3 Oktober nanti dalam acara Konser Pemuda? Luar biasa! Pada hari Senin, 3 Oktober, Defiana sudah bisa ikut acara konser pemuda di Gereja, sekalipun dengan kepala yang masih dibalut dengan perban. Mujizat!

Melihat kondisi Defiana yang cukup parah, sebuah lembaga sosial keagamaan dari Surabaya menawarkan bantuan dana dan pertolongan untuk membawa Defiana ke Singapore jika diperlukan. Tapi rencana Tuhan berbeda. Hari Senin, 3 Oktober, Defiana tidak berada di Singapore untuk diobati. Tapi pada Hari Senin, 3 Oktober, dia berada di GBIS Kepunton sedang memuji Tuhan. Haleluya!

Hariyoko yang menurut dokter harus diamputasi kakinya mengalami mujizat yang luar biasa. Besoknya, dokter berkata bahwa kakinya tidak jadi diamputasi dan bisa sembuh sempurna. Saya yakin dan percaya, bahwa malam itu, Tuhan Yesus sudah menyambung semua pembulu darah dan urat-urat yang terputus, sehingga kakinya bisa diselamatkan. Hariyoko yang masih muda tidak kehilangan kakinya.

Ayahnya, yaitu Bpk Ristiono adalah bapak yang punggungnya hancur tertebus dua belas paku tajam. Tapi puji Tuhan, tidak ada satupun paku itu yang menembus organ vitalnya. Sebelas paku diambil melalui operasi pertama. Tapi satu paku diambil pada operasi ke dua yang beresiko tinggi. Paku itu bersarang tepat di antara paru-paru dan hatinya. Jika paku itu tertancap sedikit bergeser saja, maka akan mengenai paru-paru atau hatinya dan hasilnya pasti fatal. Tapi karena tangan Tuhan saja, maka paku itu bisa tepat bersarang di antara dua organ vital itu.

Ibu Yuliati yang berusia tujuh puluh empat tahun telah terluka di kepalanya. Ada serpihan benda tajam yang melesat cepat merobek daun telinganya. Telinganya berdarah-darah. Tapi kita bisa bersyukur kepada Tuhan, karena seandainya benda itu selisih beberapa mili saja jaraknya, maka pecahan benda tajam itu akan menembus ke kepalanya dan berakibat fatal. Tangan Tuhan betul-betul menyatakan perlindunganNya.

Para korban bersaksi bahwa sepertinya ada tameng Ilahi yang melindungi mereka. Pecahan paku, mur boleh menembus daging, tapi tidak mengenai tulang atau organ penting. Ada tangan Tuhan yang tak terlihat yang telah menahan semua proyektil-proyektil maut itu.


4. Iman Di Atas Batu Karang
Hal yang paling membahagiakan saya adalah semua korban yang dirawat ini memiliki iman yang kuat. Mereka menderita, tapi mereka tidak kecewa kepada Tuhan. Mereka disakiti, tapi mereka tidak dendam dan mau mengampuni. Ketika mereka ditanya, mereka tetap mencintai Tuhan Yesus dan akan tetap setia ke Gereja.

Seperti juga Defiana yang saat masih tergolek justru memikirkan pelayanannya, maka Olivia Putri juga berkata “Aku akan tetap ke Gereja. Kenapa harus takut?”

Bapak Stefanus dalam keadaan masih terbaring di tempat tidur bahkan sudah menanyakan, “Pak, Hari Sabtu ada kebaktian 464 (lansia)? Saya mau datang ibadah.”

Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun, awalnya mengalami trauma dan berkata “Tidak berani ke Gereja dulu”. Tapi besoknya dia sudah bisa berkata “Sesudah sembuh, saya pasti ke Gereja lagi. Saya tidak trauma lagi, karena Tuhan Yesus.”

Boris waktu ditanya wartawan tentang Firman Tuhan saat ibadah, dia menjawab dengan jawaban luar biasa, “Firman Tuhan tadi berbicara tentang pertolongan Tuhan dan sekarang saya langsung mengalami pertolongan Tuhan”.

Para korban tidak menolak jiwa diwawancarai oleh wartawan maupun dikunjungi oleh tamu-tamu penting. Salah satunya saya tanya, “Kenapa kok mau diwawancarai atau dijenguk oleh tamu-tamu yang begitu banyak? Apa tidak justru melelahkan?” Dia menjawab “Pak Yo, justru ini kesempatan buat saya untuk menyaksikan kehebatan Tuhan Yesus. Justru inilah kesempatan buat saya untuk menunjukkan kepada orang yang belum kenal Tuhan bahwa saya tidak takut untuk mengiring Tuhan Yesus dan menunjukkan bahwa saya mengampuni mereka.”

Kuatnya iman mereka, betapa cintanya mereka kepada Tuhan Yesus, tabahnya hati mereka, semuanya itu membuat saya semakin kuat. Bukan saya yang mengkuatkan mereka. Tapi merekalah yang justru telah mengkuatkan saya.

Jika mereka yang menjadi korban saja bisa begitu kuat dan tidak takut untuk kembali beribadah. Tentunya, kita yang tidak tergores sedikitpun pasti akan tetap kuat dan setia beribadah kepada Tuhan Yesus di tempat yang sudah Tuhan tempatkan kita.

Jangan sampai kesetiaan dan iman kita kalah dengan mereka yang menjadi korban. Biarlah mereka ini menjadi teladan iman buat kita. Inilah iman yang dibangun di atas fondasi batu karang.


5. We Love, We Forgive
Setelah saya kembali dari Rumah Sakit, polisi sudah berdatangan mengamankan lokasi. Saya masuk ke dalam Gereja dan duduk di kursi tidak jauh dari pelaku pembomanan yang tergeletak di lantai. Saya amati dia cukup lama dan saya mulai merenung, “Haruskah hidupnya berakhir tragis dan sia-sia seperti ini?” Pada waktu itu, yang muncul di dalam benak saya bukan kebencian dan dendam. Perasaan yang muncul adalah belas kasihan kepada dia yang telah salah memilih jalan kehidupan.

Dari situlah inti pesan gembala itu muncul “Taburkanlah kasih dan pengampunan. Bukan dendam dan kebencian.” We love and we forgive.

Tidak ada persungutan yang kita berikan. Tapi ucapan syukur kepada Tuhan yang kita persembahkan. Habis gelap, terbitlah terang. Setelah musibah, timbulah mujizat. Karena itu, sekalipun di mata manusia, hal ini merupakan tragedi dan bencana. Tapi dengan mata iman, saya memandang bahwa tragedi 1053 pasti menjadi MUJIZAT 1053.

Allah turut bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikkan bagi orang-orang yang mengasihi Dia. Tidak ada kemuliaan, tanpa melalui salib. Justru melalui peristiwa ini, dunia telah melihat bahwa Tuhan Yesus dahsyat dan ajaib.

Pdt. Jonatan Jap Setiawan
Sumber: Kesaksian Pdt.Jonatan Jap Setiawan, Bom Bunuh Diri Di GBIS Kepunton Solo-Jawa Tengah





Sumber : http://kesaksian-life.blogspot.com/2013/02/kronologi-kejadian-peledakan-bom-di.html

The Miracle of Endorphin


Dalam kehidupan Anda, Anda akan terluka oleh orang lain, kadang-kadang sengaja, kadang-kadang tidak sengaja. 

Bagaimana Anda menangani sakit hati Anda akan menentukan kebahagiaan Anda.

Bila Anda memendam sakit hati dalam hidup Anda dan terus menyimpannya, ini disebut kebencian.

Jika seseorang menyakiti Anda tahun yang lalu dan Anda masih menyimpannya, itu akan meracuni hidup Anda.

Untuk kesehatan dan kebahagiaan Anda sendiri, Anda harus belajar untuk mengampuni.

Jika seseorang marah, cemas, takut, merasa tertekan, otaknya mengeluarkan NOR-adrenalin, hormon yg sangat beracun.

Di antara racun alami, hormon ini menempati urutan kedua setelah bisa ular.
Racun ini membuat sakit, cepat tua & cepat meninggal.

Jika seseorang menghadapi segala sesuatu secara positif & afirmatif, otak akan mengeluarkan hormon BETA-endorfin.

Hormon kebahagiaan ini berkhasiat memperkuat daya tahan tubuh, menjaga sel otak tetap muda, melawan penuaan, menurunkan agresivitas dalam relasi antar manusia, meningkatkan semangat, daya tahan & kreativitas.

Karena itu tersenyumlah & bersikaplah positif jika ingin hidup bahagia, sehat & berumur panjang.

Dikutip dari :
The miracle of Endorphin
~Dr Shigeo Haruyama


Catatan Admin :
Amsal 17:22 Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.



Dari berbagai sumber

Humor - Suami Teladan


Sekumpulan pria berada di ruang ganti di salah satu tempat gym terkemuka dan eksklusif di pusat kota. Tiba2 terdengar deringan hp di penjuru ruangan itu. Salah satu dari pria itu menjawab panggilan tersebut dan terjadilah obrolan berikut:

"Hallo?"

"Abang,ini ayang."

"Eemmmmm...."

"Abang masih di tempat gym ya?"

"iya."

"Ayang sekarang lagi ada di shopping complex dekat tempat gym abang. Ayang liat Louis Vuitton punya koleksi tas baru. Harganya murah kok, Cuma Rp. 7.000.000 aja... Boleh beli nggak, Bang?"

"O.K, belilah kalau kamu sudah sangat menyukainya."

"Ahhhhh....thanks abang,dan tadi sebelon ayang datang kesini,ayang ada singgah ke pameran mobil dan ngeliat mobil Mercedes terbaru. Ayang suka banget dengan modelnya, dan ayang juga sudah ngobrol dengan penjualnya dan dia setuju mau kasi 'good price'. Lagian kan bagus juga kalo mobil BMW yg kita beli thn lalu itu ditukar dengan yg baru.

"Berapa harga yang dia kasih?"

"Lagiharga promo, jadi Cuma Rp. 550 juta aja, bang..."

"O.K pastikan harga itu sudah 'on the road'."

"Great, ada 1 lagi, bang."

"Apa?"

"Tadi pagi ayang iseng-iseng singgah ke agent real estate dan ternyata rumah yg kita liat kemarin2 itu ternyata dijual..!!! Abang ingat ga?? Rumah seluas 1000 meter di Kebayoran Baru yang ada kolam renang berbentuk love, trus ada taman orchidnya dibelakang rumah yang berhadapan lapangan tennis itu, dan yang garasinya muat 4 mobil itu.... Cantik kan bang?"

"Berapa harga yang mereka minta?"

"Cuma Rp 10 milyar saja. ok kan harganya,dan ayang liat kalo tabungan abang cukup buat beli itu."

"Baguslah kalau begitu. Kalo kamu bisa tawar jadi Rp 8,5 milyar silakan aja..."

"OK abang sayang,terima kasih bang. kita jumpa nanti malam ya?? i luv u."

"bye...i luv u too."

pria itu berhenti ngomong dan menutup flap hp nya.sambil mengangkat tangan dan memegang hp itu,dia bertanya pada orang2 yang di ruangan tersebut:

"ADA YANG TAU NGGAK, HANDPHONE INI SIAPA YANG PUNYA???"



Dari berbagai sumber

Rabu, 28 September 2011

Kesaksian - Pertobatan Seorang Atheis - John Monca


Seperti biasanya, saya mempelajari sket John Monca dengan kekaguman yang amat dalam. Dalam usia yang ke 40 tahun, ia adalah arsitek terbaik diseluruh negeri, dan salah satu yang terkaya. Dan ia seorang atheis murni. 

Pada awal musim dingin tahun 1978, ketika kisah ini dimulai, firma kami sedang dalam tahap akhir menjalani kontrak dengan perusahaan kosmetik LEENA SHAMIR untuk membangun museum taman bunga mereka. Dalam perjalanan pulang saya mengatakan untuk singgah didesa saya dilahirkan bernama Christway untuk melihat pameran seniman2x lokal.

Di kota Christway mobil kami berhenti di depan gereja. Dua ratus meter dari tempat kami berdiri, atap gereja yang suram tampak dari pohon2xan. Kerumunan orang tampak. Puluhan lukisan2x kecil dijejer di depan gereja. Decakan kagum dan komenter keluar dari setiap pengunjung, saya melirik john monca yang tampak tertarik akan bakat2x baru ini.

Kemudian john monca tampak termenung dan kemudian bertanya "kalian sedang membangun apa?" tanyanya. Kemudian saya menariknya dan membawanya ke belakang gereja dan menunjuk kelapangan kosong yang terhampar dihadapan kami. "kami ingin membangun gereja disitu."

John monca berkeliling, ke arah bukit2x hijau, kearah danau dan kemudian dengan nada bergetar dia berbicara kepada dirinya sendiri: "Saya tidak percaya…" dan detik berikutnya ia meloncat kebawah sambil mengangkat tangannya. Teriakannya menggema:"Hanya yang terbaik yang boleh di bangun disini.!!"

Belum pernah saya melihat sisi seniman john monca seperti saat itu. Suatu saat ia berlari ketengah2x lapangan rumput sambil berteriak: "Kau tau Pius, disini sisi depan gereja, menghadap kearah gunung!" disaat lainnya ia sudah berada di atas bukit dan berteriak:"Disini tentu saja arena bermain anak2x!" dari satu tempat ketempat yang lain ia berlari seperti kesetanan: "Disini Air mancur! Disini Altar! Disini rumah pendeta! Disini sekolah minggu…"

John monca bicara dan menunjuk tiap2x titik seolah2x gereja dan bangunan2x lingkungannya sudah berdiri disitu. Semangatnya membuat tubuh saya ikut panas.

Dalam perjalanan pulang ia tidak berbicara apapun, walaupun nafasnya memburu. Ia mengambil kertas demi kertas dan mencoret2x selama 4 jam penuh. Ketika kami tiba dirumahnya, ia masih belum menjawab satupun pertanyaan saya. Ia hanya mengambil tasnya sambil berkata dengan suara parau: "Dan katamu anak2x kecil adalah bakat2x baru yang akan merombak tempat itu? Kau benar teman."

Apa yang saya lakukan siang itu berakibat tidak lazim. Mulanya saya hanya ingin agar john monca menginvestasikan sedikit waktu dan kekayaannya untuk tempat ini. Tapi yang terjadi benar2x tidak saya perhitungkan. Keindahan kota Christway telah menyulut jiwa seni Monca, dan ia bisa memuaskan keinginan menciptanya hingga setuntas2xnya.

Selama seminggu berikutnya kami tidak melihat John Monca dikantor. Telepon ke rumahnya hanya dijawab dengan rekaman suaranya, dan ketukan pintu pada rumahnya tidak pernah dibuka. Ketika kami menerima teguran pertama dari LEENA SHAMIR pada hari jumat, tepat seminggu setelah kontrak ditandatangani, saya merasa telah melakukan sesuatu yang keliru.

Kemudian saya menuju rumah Monca. Saya melihat Monca duduk diberanda, dengan cambang yang belum dicukur dan dengan rambut awut2xan. Ia masih memakai baju tidur yang berbau asam. Mulutnyapun berbau alkohol. Saya curiga ia belum makan beberapa hari terakhir.

"Saya ingin menunjukkan sesuatu padamu." Katanya sambil beranjak kedalam.

Ia membawa saya ke kamar kerjanya. Dimeja tercecer buku tebal ttg Arsitektur gereja. Kemudian ia menunjukkan selembar kertas ukuran lebar,"ini adalah bakal bangunan gerejamu." Saya mengamati skets itu terlihat walau dengan pinsil keindahan dan keagungan gereja itu. Atapnya menjulang seperti salib dan pilar2x dikanan kirinya seperti melindungi apapun yang berlangsung di sebelah dalam. John monca mengambil lembaran kedua. Saya kini melihat bangunan artistik dengan kolam ikan yang sejuk, dikelilingi patung2x pualam. Lembaran ketiga melukiskan tempat bermain anak2x dimana beberapa anak kecil bermain dengan riangnya. Lembar keempat menggambarkan jejeran ruang2x disepanjang gang yang penuh dihiasi pot2x tanaman. Empat pendeta mudah dengan jubah tampak berjalan beriringan bercakap2x digang itu. Tidak salah lagi ini adalah kediaman para pendeta.

Lembar demi lembar saya pelajari, jantung saya berdegup kencang karena apa yang saya pegang adalah hasil karya John Monca pada puncak kemampuannya. Saya menaruh ke enam belas halaman itu dimeja.

Saya berkata dengan parau: "John, LEENA SHARMIR tadi pagi telepon.

"saya telah memutuskan untuk membatalkan kontrak itu."

"saya hampir berteriak: "Kau sinting! Kontrak sudah ditandatangani, john kau menyalahi hukum!"

kalau begitu kita tunda hingga gereja ini selesai."

Saya berteriak memprotes. Tapi ia berkata itu sudah keputusannya. Pihak LEENA SHAMIR, seperti yang saya duga tidak bisa menerima pembatalan sepihak ini, karna mereka telah menginvestasikan waktu hampir 1 tahun untuk memilih Firma yang tepat, dan mereka sedang menghadapi deadline. Celakanya John tidak ambil peduli. Ia bahkan tidka bersedia menandatangani pernyataan permintaan maaf.

Tepat pada hari natal, firma kami dituntut di pengadilan. Saya dan beberapa rekan sekantor seperti kesetanan berusaha mengembalikan John Monca pada akal sehatnya, tetapi jawaban darinya adalah lembaran2x skets gereja kami yang semakin detail dan indah, yang dikeluarkan dari bawah pintu.

Akhirnya saya menyerah total, saya melewatkan selembar catatan kebawah pintu kamar kerjanya:

"Teman saya, John Monca.

Hakim telah memutuskan untuk memeriksa ulang perkara ini, dan kau diundang untuk hadir dipengadilan besok pukul 10.00 pagi.

Demi teman2xmu, john, paling tidak hadirlah. Semua pihak sudah bersedia untuk memilih pemecahan kekeluargaan, tapi paling kurang kau harus menunjukkan niat baikmu untuk bekerja sama.

Sekali lagi, demi dunia seni yang satu ini, hadirlah. Dari temanmu Pius.

Semalaman saya berdoa dan meminta maaf kepada Tuhan atas kesalahan fatal karena telah membawa john ke Christway.

Keesokan harinya sampai jam 10.00 John Monca tidak hadir dipersidangan, bahkan ia tidak muncul seminggu kemudian ketika pengadilan memutuskan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara karena menyalahi kontrak, 2 tahun karna tidak bekerja sama dengan pengadilan, dan 6 tahun karena telah menghina pengadilan.

Pada tanggal 14 April, pintu kamar kerja John Monca di buka secara paksa, dan pria itu tampak untuk pertama kalinya setelah 3 bulan. Wajahnya yang pucat penuh dengan cambang, dan tangannya terborgol. Dari rumah kediamannya yang mewah john monca langsung menuju ke penjara.

Saya berlutut di kantor dan memprotes kepada Tuhan akan apa yang telah terjadi. Hati saya sangat hancur melihat kenyataan ini. Kemudian saya menghubungi beberapa staf kami untuk tenang, hingga saya memutuskan.

Malam itu saya minta ijin khusus untuk bicara dengan John Monca di selnya. Yang saya lihat adalah pria kurus yang kotor dan awut2xan, tapi belom pernah saya melihat semangat hidup yang begitu membara di mata seseorang. Tiap katanya adalah teriakan.

"Persetan dengan mereka semua! Mereka mengambil kertas dan pinsil saya! Kau harus memberi saya kertas dan pinsil, Pius! Kau harus menyuruh mereka membiarkan saya bekerja!"

"John, kau dipenjara."

"saya tidak peduli! Mereka harus membiarkan saya bekerja!"

"bagaimana? Sebagai tahanan kau harus ikut aturan yang berlaku…

"Suap mereka! Suap kepala penjara! Saya tidak peduli. Saya hanya ingin kertas dan pinsil!!"

saya menunduk lemah. Tubuh saya amat capai dan mental saya jatuh hingga sulit bangkit lagi. Kemudian saya melihat sebuah amplop didorong dihadapan saya.

"Pius, apa yang saya tulis di dalam ini adalah untuk kau baca setelah gerejamu selesai dibangun. Sementara itu, kau harus percaya bahwa apa yang terjadi pada saya adalah yng terbaik, juga yang terbaik untukmu dan untuk dunia arsitektur. Sekarang dengarlah apa yang saya ingin kau jalankan."

Selama setengah jam kemudian ia berbicara seperti orang yang waras kembali. Dan selama itu saya hanya diam, semakin sadar bahwa saya tidak bermimpi dan bahwa apa yang dikatakannya memang harus saya lakukan.

Sebelum saya meninggalkan penjara malam itu, saya bicara dengan kepala penjara. Saya bilang bahwa penghuni sel nomor 24 itu bukan pelaku tindak kriminal melainkan seniman sejati, dan setiap orang tahu bahwa seniman2x sinting biasanya melakukan hal2x yang tidak logis, tapi seorang seniman sama sekali tidak berbahaya. Kemudian saya menyisipkan sejumlah uang sambil berjanji untuk memberi jumlah yang sama esoknya, dengan permintaan agar penghuni sel itu mendapat fasilitas khusus.

Esoknya, pagi2x sekali saya membawa kertas2x berbagai macam ukuran dan alat2x tulis ke penjara untuk john, dan uang tunai setebal 1 inci untuk kepala penjara. Dari situ saya langsung ke kantor untuk mengatur pertemuan darurat untuk staf2x kami. Keputusan kantor itu harus ditutup hingga ada perkembangan.

3 bulan berikutnya saya mulai memasang gembok dikantor dan menelpon perusahan2x penggadaian. Semuanya dijual dibawah nilai sesungguhnya.

Sekali tiap 3 hari saya mengunjungi john monca diselnya, dan memenuhi apa yang ia minta: pinsil2x baru, rokok, dan baterai untuk menghidupkan kalkulator dan stereo kecilnya.

Menjelang musim panas firma kami seluas 400 meter persegi, empat tingkat itu laku terjual. Dan untuk terakhir kalinya saya berdiri di ruang yang selama ini selalu penuh dan hiruk pikuk orang2x bekerja mengejar deadline. Kemudian saya menuju ke Christway.

Saya segera menuju ke ruang studi gereja di mana telah menunggu 5 insinyur lokal dan 3 pendeta. Dan saya segera ke pokok persoalannya, yaitu seorang simpatisan gereja yang kaya raya bermaksud membiayai pembangunan gereja dengan syarat namanya dirahasiakan dan gereja dibangun sesuai dengan keinginannya.

Ke 5 ahli bangunan itu langsung menunjukkan sikap protes. Seorang diantaranya menyatakan amat menghargai sumbangan penderma ini, tetapi, terima kasih, mereka mampu merancang desain mereka sendiri, yang jelas lebih sesuai dengan alam Christway. Sikap mereka yang mencemooh itu membuat saya marah. Saya begitu ingin membentak mereka bahwa kemampuan mereka tidak mencapai sepersepuluh dari kemampuan John monca, tapi mengingat perjanjian dengan John, saya hanya bisa memendam kekesalan dan berkata bahwa desain dari penderma ini bukan desain sembarangan.

Salah seorang lainnya dari ke 5 insinyur itu bangkit dan mengambil setumpuk gambar dari tasnya. Tapi sebelum mereka sempat membuka gambaran mereka, saya melemparkan beberapa skets Monca di atasnya.

Mereka melihat lembaran2x itu dan warna merah perlahan2x lenyap dari wajah mereka.

"Si… siapa penggambarnya?"

saya meledak: "seseorang yang tidak perlu kalian tahu, seseorang dengan keahlian satu juta kali lebih dari keahlian kalian."

"berapa biaya ini…"

"GRATIS!" saya meledak lagi, dan mereka terdiam, kali ini hampir 10 menit.

"Tuan Pius," kata mereka untuk pertama kalinya memanggil saya dengan hormat,"kami tidak menyangka bahwa ada kejutan seperti ini. Katakan apa yangharus kami lakukan."

Insinyur yang tadi mengeluarkan kertas mereka perlahan2x memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Bentuk komite pelaksana proyek ini." Kata saya. "saya ingin ini dilakukan secepatnya dan surat2x ijin sudah dibuat sebelum akhir bulan ini. Kemudian saya ingin dihubungkan dengan beberapa kontraktor terbaik didesa ini."

"Tapi itu akan memakai banyak uang…"

"Penderma ini akan membayar seluruhnya termasuk makan siang kalian. Tapi laksanakan pekerjaan ini seolah2x ini adalah satu2xnya proyek kalian dalam hidup. Skarang, saya mendapatkan ‘OKAY’ atau tidak?"

selama 16 bulan berikutnya, kelima insinyur muda ini adalah teman2x saya yang paling akrab. Mereka benar2x bekerja seperti sapi, mereka hanya tidur 4 jam perhari, dan mereka mempelajari gambar2x john monca dengan seluruh kemampuan mereka. Mereka begitu terserap dalam pelaksanaan proyek ini sehingga mereka tidak lagi memperdulikan kesejahteraan mereka sendiri. Tapi kalau saya merasa kasihan kepada mereka karena mereka harus bekerja dengan rasa ingin tahu yang luar biasa tentang perancang gambar2x yang mereka terima setiap minggu itu.

John Monca sendiri secara teratur memberikan rancangan2x dari balik jeruji seluruhnya. Sketsanya begitu detil sehingga melingkupi pot bunga. Ia bahkan yang menentukan secara garis besar bangunan mana yang harus dilaksanakan dulu dan bangunan mana yang menjadi tahap kedua. Beberapa kali saya harus memberinya foto lokasi2x tertentu yang diinginkannya. Kelak, pada saat pembangunan gereja ini selesai, dan saya mengumpulkan foto2x itu, saya menyadari bahwa tidak kurang dari sembilan ratus rol film telah habis untuk memfoto alam Christway selama proses berlangsung.

Menurut penjaga penjara, seniman itu hidup seperti orang tidak beradab. Terkadang hingga pagi lampu selnya masih menyala dan derit2x pensil masih terdengar. Terkadang ia tampak tidur pulas diatas alat2x tulisnya, sementara puluhan puntung rokok tercecer disekitarnya. Terkadang ia langsung kencing di ujung selnya sehingga sel itu berbau kencing yang menyengat. Dengan lembaran2x uang besar saya berhasil menyuruh penjaga penjara untuk menyeret monca keluar dari selnya dua kali seminggu, menyemprotnya dengan selang air dan kemudian menjemurnya dibawah matahari pagi, sementara penjaga yang lainnya membuang kotoran2x dan menyemprot selnya dengan karbol.

2 bulan setelah john dijebloskan kepenjara, batu pertama pembangunan gereja ditempatkan diatas tanah. Lima perusahaan kontraktor terbesar dari kota terdekat hadir untuk upacara pembukaan proyek terbesar di wilayah itu. Tepatnya 340 pekerja, 15 mesin raksasa, termasuk 4 buldoser dan 3 mesin pengeruk tanah, 28 truk dan 12.000 ton bahan bangunan dalam wilayah berbukit2x seluas 15 hektar.

400 km dari pembangunan besar2xan itu, john monca memenuhi lembar demi lembar kertas dengan pinsilnya. Kalkulator tidak pernah berhenti bekerja. Setiap 3 hari sekali saya menyediakan dengan 1 lusin baterai baru. Tiap coretan pada kertasnya berarti gerakan seratus pekerja beserta alat2x mereka 3 hari kemudian. Perhitungan begitu detil sehingga mencakup jumlah pekerja kasar, jam kerja dan jumlah bahan2x pada tiap lokasi. John monca sendiri seolah2x mondar-mandir di tempat kejadian.

Ketika angin musim gugur yang pertama bertiup pondasi utama gereja sudah tampak. Kini siapapun dapat memperkirakan seberapa besar bakal gereja mereka, dan bagaimana kurang lebih bentuknya. Mereka mulai bertanya2x tentang siapa yang ada dibalik proyek raksasa ini.

Tak seorangpun dari masyarakat kecil yang terlibat ini, termasuk koran2x lokal, yang tahu persis apa yang sedang berlangsung. Tiap hari saya harus bergulat dengan dorongan untuk berdiri di depan orang2x ini sambil meneriakan nama john monca. Dorongan ini menjadi dua kali lipat lebih kuat tiap malam, manakala saya menutup buku perhitungan saya dan melihat tumpahnya biaya yang sederas air terjun. Empat bulan yang pertama telah menyedot uang hasil penjualan seluruh aset firma kami, dan ini belum penyedotan biaya tercepat.

Menjelang musim dingin, 380 pohon2x datang dari seluruh negeri. Selama 7 minggu kemudian, sebagian armada pekerja menanam pohon2x ini dititik2x yang sudah ditentukan di sket john monca. Pada hari pertama tahun yang baru, ketika pekerja menghentikan sejenak kesibukan mereka dan minum2x beratus2x liter minuman keras sambil menari2x, saya melihat puncak pohon2x muda itu bergoyang2x ditiup angin. Tiap sosok dari pohon ini kelak akan membuat tempat ini seindah surga.

Pada malam tahun baru itu, saya mengunjungi john di selnya. Untuk hari khusus itu narapidana diberi libur sehari penuh dan boleh menerima tamu diluar jam kunjungan. Setiap sel kosong dan hiruk pikuk memenuhi aula. John tidur mendengkur diatas gambarnya, didekatnya sebatang pinsil masuk kedalam gelas kopi. Aroma kencing memenuhi ruangan itu, dan lampu 25 watt malah menambah suramnya suasana. Saya membersihkan lantai dan meminta segelas kopi baru kepada penjaga penjara. Kemudian saya duduk selama 4 jam menunggu teman saya terbangun.

Saat itu saya baru sadar betapa kurusnya teman. Tubuhnya membengkok seperti udang, sedang tumitnya yang keluar dari celana tampak sekecil bambu. Tangan kanannya yang tidak pernah berhenti bekerja tampak membiru karena darah yang tidak lancar, kuku2xnya panjang dan hitam. Delapan bulan yang lalu pria yang tergolek didepan saya adalah usahawan muda yang menjadi impian tiap jenius, sukses dan milyoner. Kini, hanya karena dorongan seninya yang diluar pengertian manusia, john monca tidak jauh seperti mayat hidup.

Saya mendesis pada john monca yang lelap: "Kenapa, john, kenapa?"

Kelak kemudian hari, ketika saya berjalan2x di sekeliling gereja Christway yang sudah selesai, saya ingat lagi akan kunjungan saya malam ini, dan saya mendadak menyadari bahwa mungkin john monca tidak terlalu menyia-nyiakan hidupnya. Apa yang ia lakukan akan menjadi bukti mengenai kekuatan tekad. Satu orang, cukup satu orang, dengan niat yang sungguh2x, akan bisa memindahkan gunung.

John monca terbangun pada pukul 2.00 pagi. Kami mengucapkan selamat tahun baru. Setelah mengguyur kepalanya dengan seember air, ia menyulut rokok dan bertanya: "bagaimana perkembangannya?"

Saya begitu ingin berkata agar ia sejenak melupakan pembangunan gereja itu, dan bicara ttg dirinya, tapi tidak seorangpun berbantahan dengan john monca. Saya mengeluarkan beberapa lembar foto.

Ia mendekatkan foto itu ke arah lampu dan menggeleng: "Bukit yang ini terlalu landai, mungkin perlu dikeruk setengah meter lagi…"

Dan ia memberikan instruksi2xnya, seperti yang ia lakukan tiap 4 hari. Dan saya menuliskan instruksi2xnya secepat mereka keluar dari mulut john monca, kemampuan yang terbentuk selama 8 bulan terakhir.

Kami berpisah ketika matahari sudah muncul. Saya kembali ke rumah, makan pagi bersama istri saya dan langsung berangkat menuju ke Christway. Jarak hampir 300 km kini menjadi jarak rutin yang harus saya bolak-balik tiap 3 hari, dan setiap hari jarak ini semakin dekat.

Saat itu proyek sudah berjalan 7 bulan 28 hari. Rangka gereja sudah berdiri, tunas2x beberapa bangunan disekitarnya juga sudah tampak, dataran disekitar gereja telah dirombak sedemikian rupa sehingga kurang lebih tampak bentuk alam di sekitarnya. Bahkan separo jadipun kompleks ini sudah tampak indah. Keindahannya yang tersebar dari mulut ke mulut mulai menarik koran2x di luar wilayah itu. Puluhan turis mulai mendatangi tempat itu tiap hari, dan jumlah mereka makin banyak. Beberapa kali kelompok2x mahasiswa arsitektur mengadakan tur ke kompleks gereja ini, dan diskusi2x antar kelompok mulai menjadi bagian aktivitas disitu

Dan tak seorangpun yang tahu yayasan apa yang ada dibalik semua itu. Tiap hari ada dugaan dan analisa ttg jumlah biaya yang ditelah proyek ini. Beberapa diantaranya menyebutkan jumlah yang menggelikan karena kecilnya, dan beberapa menyebutkan jumlah yang tampaknya terlalu dibuat2x. tak seorangpun yang sadar bahwa biaya yang tertuang sesungguhnya lebih besar dari tebakan yang paling tinggi sekalipun, jauh lebih tinggi. Setahun setelah proyek itu dimulai, saya telah memakai hampir 700 lembar cek john monca, dan kekayaannya yang tersebar di 7 bank kini menurun drastis. Beberapa petugas bank yang tajam menanyakan adanya hubungan antara menurunnya keuangan john monca dengan berita pembangunan gereja Christway yang samar2x pernah mereka baca. Saya hanya menjawab dengan senyum. Setelah 14 bulan bangunan gereja sudah hampir seluruhnya rampung. Pekerja2x semakin semangat didorong keinginan tanpa sadar untuk melihat selesainya tempat itu. Patung2x orang suci dan relief2x yang bercerita ttg kisah2x dikitab suci mulai terpasang satu persatu.

Pada bulan ke 15 lonceng tembaga dengan garis tengah 2,5 meter dinaikkan di atas atap, dan dentang percobaannya menggema hingga radius 5 km. Truk2x semakin kerap bolak-balik membawa bahan2x. para mandor dan anak buah mereka bekerja siang malam. Garis2x pada sket2x john monca tampak semakin semerawut dan tidak beraturan.

Pada bulan ke 16, taman bunga, air terjun dan kolam ikan selesai. Ratusan benih ikan dilepas oleh anak2x, diiringi berkat dari para pendeta. Pemasangan kursi2x taman disekitar danau dilakukan pada malam hari, diiringi bunyi gitar dan nyanyian para pekerja.

Pada bulan ke 17 sekolah minggu, ruang perpustakaan dan 7 bangunan pastoral disekitar gereja selesai. Jutaan pasang mata dari seluruh penjuru dunia mengikuti pindahnya ornamen demi ornamen ke pos masing2x. kecerahan gereja itu seolah menerangi seluruh kota Christway.

Pada bulan ke 18 monca jatuh tak sadarkan diri di selnya.

Saya membawa seniman itu ke rumah sakit, dan sorenya saya minta kebaktian khusus pada pendeta saya untuk mendoakan john monca. John monca tak sadar selama 46 jam penuh, dan tubuhnya harus menerima infus cair segar sebanyak 5 liter.

Ketika ia sadar , dokter mendiagnosa bahwa matanya hampir buta total danm tangan kanannya lumpuh. Kakinya yang sebelah kanan tampaknya juga mengalami kelumpuhan. Sampai disitu dokter berkata: "bukan hanya itu…"

Tapi ia tidak melanjutkan kata2xnya.

Empat hari kemudian john monca kembali ke selnya. Pada hari yang sama Christway saya mendapat laporan bahwa titik terakhir yang belum selesai, yaitu altar, sudah rampung, dan para pekerja siap berpesta pora.

Saya kembali ke kota, dan menutup 5 dari 7 rekening bank john monca yang sudah terserap habis. Perasaan saya sudah mati ketika saya kembali ke Christway keesokan harinya, untuk menghadiri upacara penutupan pembangunan gereja itu.

Walikota Christway dalam sambutannya menyatakan terima kasih sedalam2xnya pada penderma luar biasa yang sudah menciptakan gereja itu. Saya bahkan tidak mendengar ucapannya, pikiran saya melayang ke John monca yang sekarang tidak mungkin lagi bisa menikmati hasil karyanya yang terbesar. Malam itu diadakan upacara perpisahan para pekerja dan teman2x baru mereka di Christway. Botol demi botol dikeluarkan, dan sumbangan keluar dari kantong2x penduduk sekitar yang ikut kaya karena memanfaatkan segi bisnis pembangunan gereja itu.

Pesta ini adalah satu2xnya aktivitas yang tidak dibiayai john monca, karena memang sisa uangnya bahkan tidak cukup untuk membeli sebuah pohon terang. Saya bersalaman dengan teman2x saya yang sudah membanting tulang mereka selama 16 bulan, dan kemudian saya meninggalkan Christway. Air mata saya menetes keluar ketika mobil saya melakukan perjalan terakhir itu, air mata kelegaan karena saya berhasil memenuhi permintaan john monca.


25 Desember 1980

angin musim dingin yang menyengat masuk melalui celah2x jendela. Lagu2x natal dari mulut 40 anggota koor mendamaikan hati kami. Sebelas ribu jemaat dari seluruh dunia datang mengikuti misa natal pertama di gereja itu, tiga ribu diantaranya duduk dikursi tambahan yang diletakkan di luar gereja, tidak peduli pada angin dingin dan butir2x salju.

Saya termasuk yang harus duduk diluar. Langit musim dingin yang temaram menampakkan bukit2x yang agung di kejauhan, pohon2x baru yang rindang dan tegap, jalanan setapak yang naik turun dengan lampu2x jalan yang anggun, kursi2x taman yang nyaman dan artistik, dan danau yang tenang walau diusik oleh air terjun yang terus menerus bergemericik turun.

… disini letak air terjun ….

Terdengar pesan dari pendeta yang berisikan kebesaran Tuhan, dan sahutan AMIN dari seluruh jemaat.

… disini arena bermain anak2x … di sini altar…

saya menepuk bahu pria buta yang duduk dihadapan saya yang sedari tadi menunduk. Saya bertanya apakah ia mau pergi sekarang. Ia diam saja, dan saya memutar kursi rodanya keluar dari tengah2x jemaat.

Teman saya Pius:

Pada saat kau membaca surat ini, kanker sudah menghabisi saya. Kau sekarang tahu, tanpa pembangunan gerejapun hidup saya tidak akan lama lagi. Kedatangan saya di Christway seperti memberitahu saya cara untuk memanfaatkan kelebihan saya semaksimal mungkin, baik untuk orang lain maupun untuk John Monca sendiri. Saya selalu bersedia melakukan apapun untuk karya2x saya, kenapa kekayaan dan kematian saya tidak dimanfaatkan untuk menyempurnakan ciptaan saya yang terbaik?

Saya setuju, cepat atau lambat, tiap orang akan tahu rahasia dibalik pembangunan gereja Christway. Tetapi inilah inti semuanya.

Sejalan dengan berjalannya waktu, akan ada otak2x cemerlang dengan ide2x baru, dan karenanya, tak terelakan lagi, bangunan2x luar biasa sekarang akan menjadi usang dibanding bangunan2x dimasa depan. Namun keistimewaan gereja Christway tidak akan bisa ditandingi oleh apapun, hingga masa apapun. Kegilaan yang melatarbelakangi pembangunan gereja ini adalah nilai khususnya, yang tidak dipunyai gereja lainnya. Semakin gila keadaan john monca saat itu, semakin unik gaya gereja ini. Dan gereja Christway, teman, dibangun di atas hidup seorang arsitek terbaik sepanjang segala masa!

Ketika saya melihat karya2x anak kecil itu, saya mendadak merasa bahwa talenta saya tidak lebih berharga dibanding talenta mereka. Apa artinya talenta bila hanya bisa dinikmati oleh orang2x tertentu? Saya membangun gedung2x yang indah, karena imbalannya, baik bagi kantong saya maupun bagi reputasi saya, baru kemudian bagi apa yang bisa disumbangkan oleh bangunan2x itu pada masyarakat. Lukisan2x itu seolah membuka pintu di dalam hati saya yang sejal lahir tertutup rapat. Dibalik pintu ini, ternyata apa yang saya bangun masih kosong, dan saya merasa malu.

Saya tidak mengenal Tuhanmu, karena saya tidak percaya kepada kemampuan orang lain selain kemampuan diri saya sendiri. Saya dulu berpikir bahwa Tuhan adalah alasan bagi orang yang malas dan bagi mereka yang talentanya setengah2x. tapi ketika saya tahu adanya kanker di paru2x, saya mendadak sadar bahwa talenta saya terbatas, karena waktu saya terbatas. Saya mendadak sadar, bahwa sesuatu diatas sana, yang jelas bermaksud menunjukkan kepada saya bagaimana talenta seharusnya dimanfaatkan, ADA!

Menjelang kematian saya, Pius saya sadar bahwa talenta belum tentu talenta bila tidak mengandung KASIH, saya bahagia sekali ketika saya akhirnya sadar akan hal yang satu ini. Dengan KASIH, lukisan saya akan sebagus lukisan anak2x itu. Perkenankanlah saya memilih cara saya sendiri untuk menunjukkan KASIH saya pada Tuhan.

Sekarang kau pasti setuju bahwa apa yang saya lakukan bukan kegilaan, tetapi hal terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang manusia yang mamu.

Semoga Tuhan mengampuni saya.

John Monca


Sumber http://www.pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Kesaksian&table=isi&id=169&next=0

Kesaksian - Footprints


Footprints.

One night a man had a dream. He dreamed he was walking along the beach with the Lord. Across the sky flashed scenes from his life. For each scene, he noticed two sets of footprints in the sand: one belonging to him and the other to the Lord. When the last scene of his life flashed before him, he looked back at the footprints in the sand. He noticed that many times along the path of his life there was only one set of footprints. He also noticed that it happened at the very lowest and saddest times of his life.

This really bothered him and he questioned the Lord about it. "Lord, you said that once I decided to follow you, you'd walk with me all the way. But I have noticed that during the most troublesome times of my life, there was only one set of footprints. I don't understand why when I needed you most you would leave me".

The Lord replied, "My son, my precious child, I love you and would never leave you. During your times of trial and suffering, when you see only one set of footprints, it was then that I carried you".

                                                                                                                              
Terjemahannya:

Jejak kaki.

Pada suatu malam ada seseorang bermimpi. Ia bermimpi bahwa ia sedang berjalan di sepanjang pantai bersama dengan Tuhan. Di langit terlihat adegan-adegan dalam hidupnya. Untuk setiap adegan, ia memperhatikan ada dua pasang jejak kaki di pasir: satu pasang adalah miliknya dan yang lain adalah milik Tuhan. Ketika adegan terakhir dari hidupnya terlihat di hadapannya, ia melihat kembali pada jejak kaki di pasir. Ia memperhatikan bahwa seringkali di sepanjang jalan hidupnya hanya ada satu pasang jejak kaki. Ia juga memperhatikan bahwa itu terjadi pada waktu-waktu yang paling rendah dan paling menyedihkan dari hidupnya.

Ini betul-betul menyusahkan dia dan ia bertanya kepada Tuhan tentang hal itu. "Tuhan, Engkau berkata bahwa sekali aku memutuskan untuk mengikut Engkau, Engkau akan berjalan dengan aku di sepanjang jalan. Tetapi aku telah memperhatikan bahwa pada waktu-waktu yang paling menyusahkan dari hidupku, di sana hanya ada satu pasang jejak kaki. Aku tidak mengerti mengapa pada saat aku paling membutuhkan Engkau, Engkau meninggalkan aku".

Tuhan menjawab: "AnakKu, anakKu yang berharga, Aku mencintai engkau dan tidak akan pernah meninggalkan engkau. Pada saat-saat ujian dan penderitaan, ketika engkau melihat hanya ada satu pasang jejak kaki, pada saat itulah Aku sedang menggendong engkau".



Kisah Terciptanya Sajak FootPrints

Tahukah anda cerita di balik terciptanya sajak ‘FOOTPRINTS’ (Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul : Jejak – Jejak kaki).

Sajak tersebut telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun tidak banyak orang mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak banyak orang tahu apa latar belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih lagi tidak banyak orang tahu bahwa sajak yang berjudul ‘Jejak’ (aslinya : ‘Footprints’) sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.

Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu walaupun ia sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi karcis untuk anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis.

Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih. Namun ada beberapa peristiwa yang terasa pahit dalam kenangan masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya. Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Lalu tiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat kayu. Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan.’Jangan bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak ... !’ Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia sungguh takut. ‘Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman ? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II, sehingga orang Jerman dibenci di Amerika dan Kanada,’ ucap Margaret mengenang masa kecilnya.

Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. ‘Aku akrab dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba ada orang yang lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan sampai aku jatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit. Tetapi yang lebih parah lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,’ kenang Margaret.

Juga tentang masa dewasanya Margaret mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika ia sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak ‘Jejak’ ini, yang dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul. Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah. ‘Mari kita jalan di pantai,’ usul Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan bergandengan tangan di pantai pasir.

Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka di pasir pantai. Namun di tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak itu. ‘Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,’ seru Margaret. ‘Itukah mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,’ lirih Margaret. ‘Jangan berpikir begitu,’ protes Paul. ‘Aku malah melihat lambang yang indah. Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.’ Mereka berjalan terus. ‘Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.’ Paul menatap Margaret dengan tajam, ‘Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan.

Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini...’ Lalu Paul mengangkat tubuh Margaret yang kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya. Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret, menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah-olah bermimpi, dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan. Tetapi... dan seterusnya. Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur. Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul ‘Aku Bermimpi’. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang kita kenal dengan judul ‘Jejak’. Pada hari itu juga dalam kebaktian, sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, ‘... ada saat di mana kita merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.’ Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret :

One night I dreamed a dream.
I was walking along the beach with my Lord.
Across the dark sky flashed scenes from my life.
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand,
One belong to me and one to my Lord.
When the last scene of my life shot before me,
I looked back at the footprints in the sand.
There was only one set of footprints.
I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.
This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma.
‘Lord, You told me when I decided to follow,
You would walk and talk with me all the way.
But I'm aware that during the most troublesome times of my life,
There is only one set of footprints.
I just don't understand why, when I need You most, You leave me.’
He whispered, ‘My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings.
When you saw only one set of footprints,
It was then that I carried you.’

Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarangpun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas. Mana telapak kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.



Dari berbagai sumber.

Tidak Tahu Berterima Kasih


Kesepuluh orang kusta  

Lukas 17:11-19

11 Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea.
12 Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh
13 dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!"
14 Lalu Ia memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.
15 Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring,
16 lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.
17 Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?
18 Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?"
19 Lalu Ia berkata kepada orang itu: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau."


Banyak dari kita, ketika kita meminta pertolongan dari Tuhan dan Tuhan menjawab doa-doa kita ... tetapi kita lupa untuk berterima kasih kepada Tuhan.

Itu adalah salah satu keadaan manusia pada akhir zaman. Dan memang kita hidup di zaman akhir.

Apakah kita seperti salah satu dari sembilan orang kusta itu ?


Seperti Firman Tuhan yang tertulis dalam 2 Timotius 3:2-5 tentang Keadaan manusia pada akhir zaman.

2 Timotius 3:2-5

2 Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,
3 tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik,
4 suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.
5 Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!